Lelaki itu merangkul
Nabi. Membekap badan dan membenamkan wajahnya ke wajah Nabi yang ditembus anak
panah. Tak ada rasa pedulinya terhadap keselamatan diri, walau berpuluh anak
panah menghujam dan kelebat pedang kaum kafir Quraisy terus menyapih batang
tubuhnya. Di tengah perang Uhud yang berkecamuk itu, ia tersenyum.
Menyunggingkan senyum keikhlasan seorang syuhada, untuk pelan-pelan kemudian
roboh. Roboh menemui Robb-nya, sebagai tentara di samping Rosululloh yang
mulia.
Untuk lelaki itu Rosululloh bersabda : "Siapa yang ingin melihat darahku bercampur dengan darahnya, lihatlah Malik bin Sinan, ia telah menebus dirinya dengan badan dan jwanya."
Lelaki itu memang Malik bin Sinan r.a. Seorang sahabat yang paling miskin di antara sekian banyak sahabat. Pernah dilukiskan pada suatu hari beliau pulang ke rumah dengan tangan kosong, tanpa dirham dan segenggam makanan. Segala sesuatu dicukupinya hanya dengan sisa-sisa makanan yang ada. Tanpa harus merepotkan sahabat yang lain. Konon kejadian itu berlangsung beberapa hari, sampai Rosululloh SAW mendengar dan memberikan bantuan.
Adalah Bilal bin Rabbah, seorang budak dari negeri hitam Habsyi, kurus, berambut tebal, dan berjambang tipis. Tetapi Umar bin Khattab memberikan gelar "Pemimpin Kita" kepadanya. Bahkan Rosululloh SAW sendiri pernah menyataksn ia sebagai "seorang laki-laki penduduk sorga".
Adalah Abdullah bin Mas'ud, sahabat nabi yang berperawakan kecil, kurus, miskin, dan bukan keturunan bangsawan. Tapi memiliki kedudukan yang istimewa dan dipercaya Rosululloh. Sampai-sampai ketika sahabat menertawakan betisnya yang kecil dan ramping? saat ia memanjat pohon, Rosululloh berkata: "Tuan-tuan menertawakan betis Ibnu Mas'ud... (tapi ketahuilah) keduanya di sisi Alloh lebih berat timbangannya dari bukit Uhud."
Mengapa, mengapa para sahabat yang miskin dan bukan publik figur tersebut demikian istimewa kedudukannya dalam sejarah Islam?
Untuk lelaki itu Rosululloh bersabda : "Siapa yang ingin melihat darahku bercampur dengan darahnya, lihatlah Malik bin Sinan, ia telah menebus dirinya dengan badan dan jwanya."
Lelaki itu memang Malik bin Sinan r.a. Seorang sahabat yang paling miskin di antara sekian banyak sahabat. Pernah dilukiskan pada suatu hari beliau pulang ke rumah dengan tangan kosong, tanpa dirham dan segenggam makanan. Segala sesuatu dicukupinya hanya dengan sisa-sisa makanan yang ada. Tanpa harus merepotkan sahabat yang lain. Konon kejadian itu berlangsung beberapa hari, sampai Rosululloh SAW mendengar dan memberikan bantuan.
Adalah Bilal bin Rabbah, seorang budak dari negeri hitam Habsyi, kurus, berambut tebal, dan berjambang tipis. Tetapi Umar bin Khattab memberikan gelar "Pemimpin Kita" kepadanya. Bahkan Rosululloh SAW sendiri pernah menyataksn ia sebagai "seorang laki-laki penduduk sorga".
Adalah Abdullah bin Mas'ud, sahabat nabi yang berperawakan kecil, kurus, miskin, dan bukan keturunan bangsawan. Tapi memiliki kedudukan yang istimewa dan dipercaya Rosululloh. Sampai-sampai ketika sahabat menertawakan betisnya yang kecil dan ramping? saat ia memanjat pohon, Rosululloh berkata: "Tuan-tuan menertawakan betis Ibnu Mas'ud... (tapi ketahuilah) keduanya di sisi Alloh lebih berat timbangannya dari bukit Uhud."
Mengapa, mengapa para sahabat yang miskin dan bukan publik figur tersebut demikian istimewa kedudukannya dalam sejarah Islam?
Mengapa Malik bin Sinan yang sering kelaparan itu kokoh memeluk
semangat jihadnya Meski ia bisa saja memohon balik jasa dengan Rosul.
Mengapa Bilal, seorang budak begitu tinggi tempatnya dalam sejarah
pertumbuhan Islam?
Mengapa Abdulllah bin Mas?ud begitu disayang oleh Rasulullah?
Hal ini tidak lain karena izzah (harga diri) mereka yang tinggi sebagai seorang muslim. Bukankah Malik bin Sinan yang memagari diri Rosululloh dari incaran anak panah dan dencing pedang kaum Quraisy, sementara di punggungnya telah bersijajar puluhan anak panah, tapi ia tetap melindungi Rasulullah?
Bilal bin Rabbah yang dipanggang di tengah panas gurun pasir, ditindih batu besar dan didera oleh Umayyah bin Khalaf, tetapi dari bibirnya tidak lekang ucapan kalimat syahadat.
Bukankah juga Abdullah bin Mas'ud yang dipukuli orang-orang Mekkah karena dari mulutnya berkumandang ayat-ayat Al Qur'an. la pingsan dan begitu siuman ia langsung membaca Al Qur?an kembali. Dihajar lagi, pingsan lagi, bangkit dan membaca Al Qur'an lagi.
Lantas, mengapa orang-orang itu sanggup berbuat sedemikian rupa? Mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya demi keyakinan yang telah menghujam ke dalam dada dan perilakunya sehari-hari. Tak hanya harta dan tenaga, namun raganya sekalipun sanggup mereka korbankan.
Hal ini tidak lain karena izzah (harga diri) mereka yang tinggi sebagai seorang muslim. Bukankah Malik bin Sinan yang memagari diri Rosululloh dari incaran anak panah dan dencing pedang kaum Quraisy, sementara di punggungnya telah bersijajar puluhan anak panah, tapi ia tetap melindungi Rasulullah?
Bilal bin Rabbah yang dipanggang di tengah panas gurun pasir, ditindih batu besar dan didera oleh Umayyah bin Khalaf, tetapi dari bibirnya tidak lekang ucapan kalimat syahadat.
Bukankah juga Abdullah bin Mas'ud yang dipukuli orang-orang Mekkah karena dari mulutnya berkumandang ayat-ayat Al Qur'an. la pingsan dan begitu siuman ia langsung membaca Al Qur?an kembali. Dihajar lagi, pingsan lagi, bangkit dan membaca Al Qur'an lagi.
Lantas, mengapa orang-orang itu sanggup berbuat sedemikian rupa? Mengorbankan segala sesuatu yang dimilikinya demi keyakinan yang telah menghujam ke dalam dada dan perilakunya sehari-hari. Tak hanya harta dan tenaga, namun raganya sekalipun sanggup mereka korbankan.
Ya, mereka inilah para kader-kader tangguh hasil gemblengan
Rosululloh pada jamannya. Hati mereka menjadi bersinar dengan cahaya Islam.
Cahaya itu tidak semata-mata diturunkan Alloh ke dalam hati mereka. Tapi butuh
proses. Mereka belajar dan menerima pelajaran dari Rosululloh. Pelajaran
tentang betapa agungnya dan terhormatnya Islam dan menjadi umat Islam.
"... padahal kekuatan itu hanyalah bagi Alloh, bagi Rosul-Nya dan bagi orang-orang mu?min ..."
(QS. 063 : 008)
Dengan sikap ini seorang muslim mampu mematut dirinya di hadapan manusia sesuai kehendak Kholiqnya. Standar menilai dan menimbang segala kebaikan dan keburukan datangnya dari Alloh. Inilah sikap yang dicontohkan oleh Bilal, Malik bin Sinan, dan oleh generasi "Khoiru Ummah" yang lain. Hanya ada satu neraca, yaitu neraca Alloh SWT.
Rujukan :